Kisah Korban Rekayasa Kasus Polisi: 'Enggak Ngaku Begal, Saya Ditembak.
Seorang remaja berusia 20 tahun mengaku dianaya polisi dan dipaksa mengakui dirinya terlibat dalam sebuah kasus begal yang diduga hanya merupakan rekayasa.
Setelah mengaku digebuki hingga babak belur selama delapan jam, lalu digertak dengan moncong senjata oleh lima polisi, dia terpaksa mengikuti apa mau mereka.
"Saya mau gimana? Di depan saya polisi lima orang pegang pistol, 'lu kalau enggak ngaku, gua tembak lu...'" kata Lukman, bukan nama sebenarnya, menirukan ucapan seorang polisi berulang-ulang kali.
Kepada BBC, ia menunjukkan foto mukanya yang bengep: pipi kiri bengkak dan luka robek di bibir.
Gambar itu diambil oleh polisi di kantor Polsek Tambelang, Kabupaten Bekasi, pada 29 Juli 2021 untuk dijadikan bahan konferensi pers kasus dugaan pembegalan yang dilakukan Lukman bersama tiga kawannya: AR, RA, dan MR.
Meski belakangan, pendamping hukum Lukman dkk ragu kejadian begal itu ada, alias cuma rekayasa.
Penyiksaan selama delapan jam
Penderitaan selama sembilan bulan, kata mahasiswa Universitas Pelita Bangsa ini, dimulai pada 28 Juli 2021 sekitar pukul 18:30 WIB.
Waktu sedang asyik main gim online di dekat warung kelontong punya bapaknya, Lukman berkata, beberapa orang yang mengendarai tiga mobil tiba-tiba menggeretnya masuk ke mobil.
Bukan hanya dia, delapan orang pemuda yang sedang nongkrong juga ditangkap paksa, kata Lukman.
"Saya tanya, salah saya apa? Dijawab sama polisi, 'Sudah kamu ikut saja dulu'."
Di dalam mobil, Lukman mengingat, tangan mereka diikat kabel ties dan mata dilakban.
Sesampainya di kantor Polsek Tambelang, mereka diturunkan satu per satu dan dibawa ke gedung Telkom Tambelang yang jaraknya cuma selemparan batu.
Di situ, Lukman mengaku dituduh sebagai pelaku pembegalan yang menimpa korban bernama Darusman Perdiansyah pada 24 Juli 2021 pukul 01:30 WIB.
Disangka begitu, Lukman mengelak. Tapi polisi kekeuh.
"Kita langsung dipukulin dari jam delapan malam sampai tiga pagi besoknya. Enggak berhenti," aku Lukman.
"[Badan] saya didudukin polisi, saya digantung dengan posisi kepala di bawah, kaki di atas. Saya sempat pingsan, disiram pakai air, saya bangun...
"Badan saya dilempar lagi, muka saya dipukul pakai [popor] pistol. Batu kali yang buat bangunan dipukul ke kaki saya," kisah Lukman.
Tapi meski sudah babak belur, tak ada yang mau mengaku sebagai begal, sambungnya.
Kira-kira pukul 03:00 WIB keesokan harinya, masih menurut cerita Lukman, mereka dikurung dalam sel dan masih juga digasak.
Siangnya, dia melanjutkan, polisi mengeluarkan salah satu teman Lukman, AR untuk diinterogasi secara ilegal --karena dilakukan dengan kekerasan dan tanpa didampingi penasihat hukum.
AR yang punya kondisi keterbelakangan mental, dipaksa mengaku sebagai pentolan geng begal.
"Ya sudah dari pengakuan itu merembet ke saya, RA dan MR. Karena kami teman dari kecil.
"Adul --sapaan AR-- ngomong ke saya, 'Maafin saya ya, saya takut dipukulin lagi, takut ditembak..." ujar Lukman menirukan perkataan kawan baiknya kala itu.
Usai AR, sasaran selanjutnya Lukman.
Di kantor polsek, dia duduk bersila. Di depannya lima anggota polisi menodongkan pistol ke kepala sambil menggertak: 'Lu kalau enggak mau ngaku, gua tembak lu..!
Ia tak menjawab. Tapi batinnya berontak.
"Enggak ngaku [sebagai begal], saya ditembak. Padahal saya enggak ngelakuin."
Di bawah kokangan senjata, guru ngaji ini terpaksa menjawab "iya". Begitu pula RA dan MR.
Dari sembilan orang yang ditangkap paksa, lima lainnya dilepaskan.
Dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Lukman dkk lagi-lagi kena gebuk karena membantah sangkaan polisi. Sampai akhirnya mereka hanya bisa mengiyakan apa yang ditanya penyidik.
"Selesai BAP disuruh tanda tangan, kalau enggak mau dipukulin lagi."
Pada Maret lalu, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Endra Zulpan, membantah unit reserse kriminal Polsek Tambelang, Bekasi, salah tangkap dan melakukan rekayasa dalam kasus pembegalan yang terjadi Juli 2021.
Dia mengklaim, aparat sudah sesuai prosedur saat menangkap empat terduga pelaku. Sebab, korban masih mengenali wajah pelaku dan pelat nomor kendaraan yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
Polisi juga mengaku telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Polisi tak menyebut apapun tentang tuduhan kekerasan yang dilakukan di kantor polisi.
Banyak keganjilan, Lukman dinyatakan tak bersalah
Pendamping hukum dari LSM Kontras, Andrie Yunus, mengatakan Lukman dkk dituduh melakukan tindakan pidana pencurian disertai kekerasan yang terjadi di jalan Kecamatan Tambelang pada 21 Juli 2021, pukul 01:30 WIB.
Di Pengadilan Negeri Cikarang, kuasa hukum mencoba membuktikan Lukman dkk adalah korban rekayasa kasus karena terlalu banyak keganjilan.
Pertama, pada saat peristiwa dugaan pembegalan terjadi, Lukman dkk dipastikan ada di lokasi yang berbeda.
Lukman misalnya, terekam kamera CCTV sedang tidur di musala dekat rumah bersama abang dan teman-temannya.
Begitu juga dengan motor yang disebut polisi dipakai untuk membegal, ada di depan rumah Lukman sejak malam hingga keesokan harinya.
Kemudian AR dan MR di waktu bersamaan, sedang mengantar ayam potong ke pasar di Kabupaten Bekasi. Buktinya adalah foto mereka bersama mobil yang mogok di tengah jalan dan dikirim ke bosnya.
Sedangkan RA, kata Andrie, pada tanggal 21 Juli sedang bersama temannya di rumah.
Untuk menguatkan bukti CCTV itu, kuasa hukum mendatangkan pakar telematika Roy Suryo sebagai saksi ahli di pengadilan. Bersama saksi-saksi pendukung lain.
Keganjilan berikutnya, luka korban begal disebut "terlalu kecil jika kena ayunan kuat senjata tajam".
"Kalau mengacu pada keterangan ahli forensik kami, biasanya luka akibat senjata tajam apalagi diayunkan kuat akan merusak tulang atau jaringan yang putus," jelas Andrie.
"Tapi yang terjadi pada korban berdasarkan visum, luka ini kok kecil. Bertentangan dengan keterangan korban yang bilang para pelaku pakai celurit dan langsung membacok."
Selama persidangan pula, lanjut Andrie, tidak dihadirkan baju korban --ini untuk membuktikan apakah ada darah akibat luka.
Ketiga, senjata tajam yang disangka digunakan untuk begal diambil secara asal-asalan.
Sebab ketika polisi membawa AR ke tempat kerjanya, ia dipaksa mencari barang bukti berupa senjata tajam jenis celurit.
Tapi celurit itu tak pernah ditemukan, sebut Andrie.
Sebuah parang yang biasa dipakai untuk menyabit rumput dan tertancap di batang pohon, langsung diambil dan menjadi barang bukti.
"Inilah yang membuat kami ragu pembegalan terjadi," tukas Andrie.
Sial, bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan kuasa hukum Lukman dkk dikesampingkan majelis hakim.
AR divonis 10 tahun, sisanya sembilan bulan.
Vonis itu, kata Andrie, sebetulnya di bawah tuntutan jaksa yaitu dua tahun. Adapun ancaman hukuman untuk pasal pembegalan atau 365 KUHP adalah 12 tahun penjara.
"Ini sebetulnya menunjukkan jaksa juga ragu."
Usai putusan bersalah itu, keluarga korban rekayasa kasus ini memutuskan mengajukan banding dan keputusannya, cuma Lukman dinyatakan tidak bersalah dan harus dipulihkan nama baiknya.
"Yang menarik, anehnya kenapa hakim banding itu hanya membebaskan Lukman padahal penerapan pasal dan dakwaannya tunggal. Artinya, kalau ada satu orang tidak bersalah, yang lainnya pun demikian."
Pada Mei 2022, Lukman dkk bebas dari Lapas Cikarang setelah menjalani sembilan bulan kurungan.
Akan tetapi, trauma penyiksaan masih terbayang-bayang.
"Sekarang masih ada rasa takut keluar rumah. Masih terngiang-ngiang di kepala," imbuh Lukman.
'Siapa saja bisa kena rekayasa kasus'
Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Eko Riyadi menjelaskan rekayasa kasus adalah merekayasa kasus tindak pidana di mana pelaku belum ditemukan atau ditetapkan, tapi orang lain dipaksa mengaku.
Bahkan kadang kala, kasus itu sendiri tidak pernah ada. Namun dibuat seakan-akan terjadi.
Rekayasa kasus, bukan penyakit baru di institusi kepolisian.
Catatannya, rekayasa kasus cukup fenomenal terjadi pada 1970-an yang menimpa dua petani dari Bojongsari, Bekasi: Sengkon dan Karta.
Kisah keduanya mirip cerita Andy Dufresne di film The Shawsank Redemption.
Sengkon-Karta divonis 12 tahun dan 7 tahun penjara setelah disiksa polisi agar mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang menimpa sepasang suami istri.
Setelah beberapa tahun di penjara, mereka bertemu seorang napi bernama Genul yang lebih dulu dibui karena kasus pencurian.
Di situlah, Genul membuka rahasia bahwa dia sebenarnya pembunuh pasangan suami istri tersebut.
Apa yang terjadi pada Sengkon dan Karta menggemparkan dunia hukum Indonesia dan menghidupkan sistem Peninjuan Kembali atas putusan pengadilan.
Eko Riyadi menilai ada alasan mengapa praktik ini masih langgeng.
"Karena faktor target, semakin banyak perkara ditangani, akan cepat naik pangkat," jelasnya.
Masalah berikutnya, penyelidikan perkara di Indonesia belum teliti lantaran para penyidik lapangannya rata-rata lulusan Sekolah Polisi Negara (SPN) yang pendidikannya tak sebaik Akademisi Kepolisian.
"Kalau Akpol itu studinya 4 tahun setara S1, kalau SPN cuma 5 bulan.
"Jadi peluang untuk melakukan kesalahan dalam proses menangani perkara, besar banget."
Malangnya, rekayasa kasus bisa menimpa siapa saja tanpa terkecuali.
Kontras mencatat sepanjang tahun 2019-2022 ada 27 korban dugaan rekayasa kasus oleh polisi yang tersebar di 15 provinsi.
Lembaga itu meyakini, rekayasa kasus layaknya fenomena gunung es karena banyak kasus tak diungkap dan diketahui publik.
Apa yang bisa dilakukan warga jika tersangkut rekayasa kasus?
Eko Riyadi menyarankan masyarakat agar diam jika didatangi polisi yang tak menunjukkan identitas, tidak membawa surat perintah, dan tak menjelaskan tindak pidana yang dituduhkan.
"Perlu ada kampanye besar-besaran untuk mengatakan, kalau Anda disambangi polisi Anda berhak untuk diam. Diam itu hak Anda!"
Selain itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) harus diberi kewenangan lebih untuk menerima pengaduan warga yang jadi korban rekayasa kasusnya polisi dan melakukan intervensi hukum berupa penyelidikan sampai menghukum.
Sebab kalau hanya mengandalkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) seperti "masuk ke kandang macan" alias percuma.
"Propam kan masih internal polisi. Jangan-jangan polisi yang dilaporkan punya hubungan kerja atau emosional di masa lalu dengan yang di Propam. Jadi sulit diawasi."
Sekretaris Staf Ahli Kapolri, Irjen (Pur) Aryanto Sutadi, membenarkan pernyataan Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Eko Riyadi bahwa Propam tidak mempan.
Perlu ada lembaga independen di luar Polri, yang menindak polisi-polisi nakal.
Tapi bagaimanapun Kapolri, kata dia, tidak bisa tinggal diam atas kelakuan anak buahnya yang melakukan pelanggaran etik maupun disipin.
Pasca terbongkarnya rekayasa kasus pembunuhan Brigadir Yosua oleh Ferdy Sambo dan puluhan anak buahnya, Kapolri telah memerintahkan petinggi kepolisian di daerah agar menindak anggota yang melanggar.
"Menindak setiap kejadian tanpa pandang bulu dan sekarang sedang diterapkan Kapolri. Kalau main-main, ancamannya langsung dicopot," ungkap Aryanto Sutadi.
"Jadi strategi yang tepat adalah menindak tegas setiap pelanggaran kecil sampai besar."
Aryanto berkata, perintah itu telah disampaikan Kapolri pada awal September lalu. Ia berharap, hukuman dipecat ini bakal menimbulkan efek jera bagi anggota lain.
"Itu maksimal yang bisa dilakukan Kapolri, apa lagi? Karena sistemnya ada, tapi penerapannya diabaikan."
Belum ada Komentar untuk " Kisah Korban Rekayasa Kasus Polisi: 'Enggak Ngaku Begal, Saya Ditembak."
Posting Komentar